"dulu kan bapak gak pernah pulang, sekarang dirumah terus makin sayang sama aku ni" ucap ku menggoda bapak ditengah obrolan kami. "itu kan masa lalu mi' bapak terlihat menghindari topik obrolan yang baru saja ingin ku mulai. aku ingin tau kenapa bapak bisa berubah drastis, penampilan bapak semakin rapi walau kesehariannya kadang masih suka memakai kaos dan celana jeans. wajah bapak pun tak segarang dulu, aku seakan menemukan sosok bapak yang benar-benar mencintaiku. "hayooo sana tidur, sudah waktunya tidur kaan, besok kamu mesti sekolah, besok pagi-pagi berangkatnya bareng bapak ya" ujar bapak.
Tanpa sedikit pun ada bantahan, aku mengiyakan dan segera beranjak ke kamar.
Bapak terdiam didepan tv, aku memberanikan diri mengintip dari balik daun pintu kamarku, "hhmm apa mungkin pernyataanku tadi melukai hati bapak ya?? gumamku dalam diam. Terlihat jelas perubahan ekspresi wajah bapak ketika aku tiba-tiba melontarkan kalimat itu.
"sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi, tetapi ALLAH memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikhendakiNYA" (Al-Qashash:56)
--------
"dulu kan bapak gak pernah pulang, sekarang dirumah terus makin sayang sama aku ni" kata-kata rumi hanya bisa kujawab dengan jawaban umumku "itu kan masa lalu".
sebenarnya ingin ku ceritakan perihal yang melekatkan hatiku kembali kerumah, menjadi amat sayang dengan keluargaku, dan kembali lebih sering mengadu padaNYA. semua berawal dari sepulang menghantarkan kakak rumi ke luar kota, aku seakan disadarkan siapa aku, untuk apa aku hidup, dan betapa aku mencintai keluargaku dan tak ingin kehilangan mereka.
sebenarnya ingin ku ceritakan perihal yang melekatkan hatiku kembali kerumah, menjadi amat sayang dengan keluargaku, dan kembali lebih sering mengadu padaNYA. semua berawal dari sepulang menghantarkan kakak rumi ke luar kota, aku seakan disadarkan siapa aku, untuk apa aku hidup, dan betapa aku mencintai keluargaku dan tak ingin kehilangan mereka.
" dulu tak pernah kusadari usia ku kian lama kian senja, aku merasa layaknya masih berjiwa anak muda, padahal aku sudah mempunyai keluarga, ada istriku, okta anak pertamaku, rumi dan Yoga. mereka yang selalu diam dan tak pernah berani memprotes tingkahku.
Penghasilan yang cukup untuk keluarga membuatku sombong dan terlalu berleha-leha, judi minuman keras,dll lekat dalam hidupku. aku juga tak pernah menggubris kelelahan yang terpancar dari wajah cantik istriku. dia yang selalu membangunkanku diwaktu shubuh padahal sering kali berbalas kemarahan dariku. beruntung aku mempunyai istri yang begitu mencintai aku dan anak-anak, tapi tak terbesit sedikitpun kasihan padanya. setahu ku urusanku hanya memenuhi nafkah keluarga.
Rumi yang memang lebih berani menegur terkadang membuatku malu, tapi akhirnya tak kuhiraukan lagi. Kecukupan dalam materi sungguh membutakan aku pada kebahagiaan sebenarnya, aku lupa bahawa aku adalah seorang bapak. Sudah banyak nasehat-nasehat dari sanak sodara, tapi semua bisa kubantahkan. walaupun aku brandalan tapi setidaknya aturan rumah tetap ku berlakukan, anak-anakku tak boleh ada yang seperti aku, semua aturan ku berlakukan ketat, tak ada waktu bermain, tak ada waktu jam malam, tak boleh ada teman laki-laki untuk anak perempuanku, semua harus menuruti aturan yang ku buat, dan istri serta anak-anak tak ada yang boleh membantahnya.
Penghasilan yang cukup untuk keluarga membuatku sombong dan terlalu berleha-leha, judi minuman keras,dll lekat dalam hidupku. aku juga tak pernah menggubris kelelahan yang terpancar dari wajah cantik istriku. dia yang selalu membangunkanku diwaktu shubuh padahal sering kali berbalas kemarahan dariku. beruntung aku mempunyai istri yang begitu mencintai aku dan anak-anak, tapi tak terbesit sedikitpun kasihan padanya. setahu ku urusanku hanya memenuhi nafkah keluarga.
Rumi yang memang lebih berani menegur terkadang membuatku malu, tapi akhirnya tak kuhiraukan lagi. Kecukupan dalam materi sungguh membutakan aku pada kebahagiaan sebenarnya, aku lupa bahawa aku adalah seorang bapak. Sudah banyak nasehat-nasehat dari sanak sodara, tapi semua bisa kubantahkan. walaupun aku brandalan tapi setidaknya aturan rumah tetap ku berlakukan, anak-anakku tak boleh ada yang seperti aku, semua aturan ku berlakukan ketat, tak ada waktu bermain, tak ada waktu jam malam, tak boleh ada teman laki-laki untuk anak perempuanku, semua harus menuruti aturan yang ku buat, dan istri serta anak-anak tak ada yang boleh membantahnya.
akibat keegoisanku, aku tak begitu tau keadaan anak-anak dan istriku, setauku adalah kebutuhan finansial mereka terpenuhi, maka itu adalah cukup. aku pun menyekolahkan anakku setinggi-tingginya agar mereka tak bodoh dan diperlakukan seenaknya oleh orang lain dikehidupan mereka yang akan datang.
suatu hari, aku menghantarkan anak pertamaku okta ke luar kota jauh diluar pulau, kami merencanakan okta akan melanjutkan kulianya disana, kami berangkat bersama keluarga tetangga .
Tempat persinggahan kami dikota nantinya adalah kediaman orang tua tetangga kami itu. ini kali pertamanya aku pergi dengan anak kandungku sendiri, padahal sebelumnya aku tak pernah akrab dengan okta. okta pun terlihat segan mendekatiku, padahal aku adalah bapaknya. Sepanjang perjalanan okta hanya diam. aku pun bingung bagaimana mencairkan suasana dengan anak pertamaku ini. Sejak itu kegalauan mulai menyelimuti, "kenapa aku seperti orang asing dengan darah dagingku sendiri??"
Tempat persinggahan kami dikota nantinya adalah kediaman orang tua tetangga kami itu. ini kali pertamanya aku pergi dengan anak kandungku sendiri, padahal sebelumnya aku tak pernah akrab dengan okta. okta pun terlihat segan mendekatiku, padahal aku adalah bapaknya. Sepanjang perjalanan okta hanya diam. aku pun bingung bagaimana mencairkan suasana dengan anak pertamaku ini. Sejak itu kegalauan mulai menyelimuti, "kenapa aku seperti orang asing dengan darah dagingku sendiri??"
tiba dikota yang kami tuju, perjalanan yang amat melelahkan kerna hampir merenggut 3 hari lamanya berada didalam bis. aku berencana nantinya akan segera istirahat dulu sesampai dirumah orang tua tetanggaku yang ternyata masih berada agak jauh dari kota.
Rasa letih masih menggelayut dalam badanku, tiba akhirnya dirumah orang tua tetanggaku itu dan seketika melihat keadaan disana sentak membuatku kaget tak kepalang, ini benar-benar seperti tiba di peradapan masa lampau, hanya sebuah rumah berlantai tanah, jarak antara satu rumah lain dipisahi kebun kelapa, dibelakang rumah juga ada kandang sapi yang dari jarak jauh saja baunya sudah menusuk hidung.
Aku yang sudah terbiasa tinggal dalam keadaan berkecukupan sebenarnya terbesit mengurungkan diri beristirahat disana, ingin rasanya langsung pergi mencari penginapan yang lebih layak disebut rumah, tapi kuurungkan kerna aku sadar tak tau menau tentang kota ini. Pertama memasuki rumah itu membuat hatiku miris, bagaimana keluarga rumah ini bisa hidup dengan keadaan yang memprihatinkan seperti ini, kami disambut ramah oleh mereka, ada sekitar 6 orang yang tinggal dirumah sesempit ini, tapi mereka tak terlihat mengangap itu semua adalah beban, senyum dan tawa keluarga itu membuat ku iri kerna aku tak pernah merasakannya bersama keluargaku.
Aku juga harus tidur dilantai bersama okta, ini kali pertamanya inginku lindungi anakku, ini pertamanya seakan okta benar-benar membutuhkanku, aku merasa seperti seorang bapak. okta tertidur pulas didekatku berselimut kain sarung kepunyaannya. aku tak bisa tidur kerna bau kotoran sapi yang seakan berada di depan mukaku. aku melihat wajah okta dalam-dalam, tak terasa tetes bening mengalir dipipiku, aku benar-benar tak kuasa menahan air mata kerna aku sadar akan melepaskan okta di kota yang tak kuketahui rimbanya. okta terbangun dan mempergokiku sedang menangis pilu, dipeluknya hangat bapaknya ini. malam itu tangis benar-benar tertumpah, aku mengurungkan niatku untuk melepas okta melanjutkan sekolahnya disini. aku tak sanggup meninggalkan anak perempuanku seorang diri. tapi okta meyakinkanku dia akan bisa menjaga dirinya. hatiku rasanya pilu, aku bahkan merasa belum memberikan apa-apa untuk dirinya.
Aku yang sudah terbiasa tinggal dalam keadaan berkecukupan sebenarnya terbesit mengurungkan diri beristirahat disana, ingin rasanya langsung pergi mencari penginapan yang lebih layak disebut rumah, tapi kuurungkan kerna aku sadar tak tau menau tentang kota ini. Pertama memasuki rumah itu membuat hatiku miris, bagaimana keluarga rumah ini bisa hidup dengan keadaan yang memprihatinkan seperti ini, kami disambut ramah oleh mereka, ada sekitar 6 orang yang tinggal dirumah sesempit ini, tapi mereka tak terlihat mengangap itu semua adalah beban, senyum dan tawa keluarga itu membuat ku iri kerna aku tak pernah merasakannya bersama keluargaku.
Aku juga harus tidur dilantai bersama okta, ini kali pertamanya inginku lindungi anakku, ini pertamanya seakan okta benar-benar membutuhkanku, aku merasa seperti seorang bapak. okta tertidur pulas didekatku berselimut kain sarung kepunyaannya. aku tak bisa tidur kerna bau kotoran sapi yang seakan berada di depan mukaku. aku melihat wajah okta dalam-dalam, tak terasa tetes bening mengalir dipipiku, aku benar-benar tak kuasa menahan air mata kerna aku sadar akan melepaskan okta di kota yang tak kuketahui rimbanya. okta terbangun dan mempergokiku sedang menangis pilu, dipeluknya hangat bapaknya ini. malam itu tangis benar-benar tertumpah, aku mengurungkan niatku untuk melepas okta melanjutkan sekolahnya disini. aku tak sanggup meninggalkan anak perempuanku seorang diri. tapi okta meyakinkanku dia akan bisa menjaga dirinya. hatiku rasanya pilu, aku bahkan merasa belum memberikan apa-apa untuk dirinya.
keesokkan harinya kami pergi ke pusat kota, mencari universitas yang bisa menerima anakku, kami berkeliling dari pagi hingga menjelang malam, kepayahan kami jalani bersama berhari-hari , okta juga tak pernah terlihat sedih, dia begitu bersemangat, malah aku yang sepertinya mudah sekali menyerah. Syukurlah akhirnya anakku bisa diterima disalah satu stikes, satu kamar kosan pun sudah kami dapatkan untuk kediaman okta selama kulia. Tugasku menghantar okta selesai.
aku segera mengepak barang-barangku dan akan segera pulang kerumah, okta membantuku menyiapkan segalanya. "hari ini bapak pulang ya ta, kamu jaga diri kamu disini, kalau ada apa-apa kamu langsung hubungi bapak".ucapku pada okta. okta sengaja tak ku ijinkan menghantarku ke terminal bus, ia merengek ingin menghantar tapi aku bersikeras tak ingin dia mneyertai, sebenarnya aku hanya tak ingin nantinya aku tak sanggup meninggalkannya seorang sendiri, tanpa seorang pun sanak sodara, berjuang sendiri dikota orang.
Diperjalanan pulang kerumah hatiku masih terasa nyilu, memikirkan kembali atas kesombongan-kesombongan yang selama ini aku lakukan, aku bapak yang tak pernah tau keadaan keluargaku, aku yang tak pernah ada dirumah, saat itu juga aku mulai menyadari bahwa aku hidup ada anak-anak dan istri yang menemani. membuat mereka bahagia selagi umurku masih ada. kerna aku sadar aku adalah seorang bapak.sekarang aku sudah melepaskan okta padahal ingin rasanya baru memulai kembali arti sebuah keluarga.
"ya..robbi ampunilah segala dosa yang begitu menggunung ini, aku kembali padamu, tempatku berserah diri, tempatku bersandar, tiada daya upaya selain kehendakMu.. berikan aku kesempatan untuk bersama terus dengan keluargaku, diduniaMU dan Syurga-mu nanti..,lindungi okta diperantauanya, aku seorang bapak yang merasa belum begitu memberi peran sebagai seorang bapak, hamba berserah padamu, hamba yakin penjagaan-MU bergitu sempurna".
Semenjak kepulanganku dari menghantar okta, aku berusaha terus membersamai keluargaku, istriku yang begitu setia menemani seakan tak percaya bahwa sekembalinya aku bisa begitu mencintainya. aku baru menyadari memiliki perhiasan dunia dan anak-anak yang juga begitu mencintai orang tuanya. Rumi yang memang lebih aktif ketimbang sodara-sodaranya juga lebih cepat akrab denganku, seperti kebersamaan malam ini, hingga pernyataan itu terlontar darinya.."dulu kan bapak gak pernah pulang, sekarang dirumah terus makin sayang sama aku ni" "jawaban dariku sebenarnya adalah" kerna bapak mencintaimu, nak" isyaratku dalam diam
"barang siapa yang diberi petunjuk oleh ALLAH, maka dialah yang mendapatkan petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan ALLAH, maka merekalah yang disesatkan ALLAH, maka merekalah orang-orang yang merugi." (al-A'raf: 178)
Walu aku kesusahan membaca tulisan yg hampir tiada paragraf yg memisahkan tapi aku mbaca semua tulisan ini. sangat menyentuh.
BalasHapussemoga kelak nanti aku bisa menjadi seorang bapak yg senantiasa bisa membahagiakan istri dan anak2ku kelak... amin3x
aamiin.. iya maaf.bis ngetik malah gk tak edit..hehee...maturnuwun..
BalasHapus